Mukhamad Aji Prasetyo merupakan seniman instalasi kinetik yang sedang menempuh studi magister seni rupa di Institut Teknologi Bandung. Sebagai seorang seniman instalasi kinetik, dia tertarik untuk mengeksplorasi keterkaitan antara manusia dan lingkungannya melalui karya seni. Dia percaya bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap planet yang ditinggali dan bahwa seni dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk memperjuangkan perubahan positif dalam hubungan kita dengan lingkungan.
Aji mencoba untuk membahas isu-isu ekologi yang sangat penting, seperti kultur sosial, agrikultur, perubahan iklim, dan distopia kepunahan spesies dalam karyanya. Dalam setiap karya seninya, Aji memakai metode visual deformasi, fiksi, dan mitologi. Dia menggunakan teknologi dan mekanisme kinetik untuk menciptakan karya seni yang bergerak dan bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Aji menggunakan bahan-bahan daur ulang dan limbah untuk menciptakan objek seni yang mempromosikan praktik-praktik berkelanjutan.
Instalasi kinetik
Teks oleh Samuel Bonardo
Aji mencoba untuk membahas isu-isu ekologi yang sangat penting, seperti kultur sosial, agrikultur, perubahan iklim, dan distopia kepunahan spesies dalam karyanya. Dalam setiap karya seninya, Aji memakai metode visual deformasi, fiksi, dan mitologi. Dia menggunakan teknologi dan mekanisme kinetik untuk menciptakan karya seni yang bergerak dan bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Aji menggunakan bahan-bahan daur ulang dan limbah untuk menciptakan objek seni yang mempromosikan praktik-praktik berkelanjutan.
Karya Aji Prasetyo yang berjudul Mutasi Kinetika adalah salah satu usaha untuk mengejawantahkan relasi alam dan teknologi. Aji membekukan pengalamannya ketika menyadari perubahan di kampung halaman dalam puluhan tahun. Dalam suatu ekosistem, capung juga menjadi bioindikator alami untuk mengetahui kebersihan air karena larvanya tidak bisa tumbuh di air yang tercemar. Gejala perubahan iklim, ancaman krisis pangan, dan kepunahan spesies adalah dampak yang bisa diamati dan dirasakan oleh siapapun yang hidup pada saat ini.
Pandangan antroposen yang memisahkan alam dengan manusia, menghasut kita untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan. Padahal di hadapan alam; perasaan, emosi, dan kesadaran–yang diunggulkan oleh mayoritas manusia masa kini–tidak pernah lain dari eksistensi material kita yang menubuh. Begitu pula segala unsur yang organik maupun anorganik, gelombang yang kita alami dan cerap, juga tidak pernah jadi lebih tinggi maupun lebih rendah menurut hakikat alamiah itu sendiri. Satu hal yang pasti dan bisa kita amati bersama adalah, bagi alam, perubahan adalah keniscayaan.
Aldo Fernandez bergiat di Komunitas KAHE, Maumere. Bekerja dengan mural, digital painting, dan sablon untuk aneka karya seni, produk maupun merchandise. Ia juga bagian dari Cru Father Said, sebuah gerakan seni yang diinisiasi oleh musisi hip-hop di Maumere. Saat ini sedang mendalami kerja-kerja tata panggung untuk pertunjukan, instalasi, dan desain pameran.
Mural di dinding
Dalam banyak karya ilustrasi dan muralnya, Aldo kerap mengeksplorasi kura-kura, hewan yang menjadi totem dalam keluarganya. Keluarganya percaya, kura-kura adalah nenek moyang yang menopang dunia, memberi kehidupan, dan menjaga seluruh keluarga dari marabahaya. Merespons situasi Bangunjiwo yang kaya akan pertanian dan hasil bumi, Aldo tertarik menggambar lanskap dalam bentuk komikal, memadukan imaji-imaji tradisional di Flores dengan hewan-hewan purba yang akrab dalam dunia pertanian. Menariknya, sosok kura-kura yang menjadi totem dan dasar dari gambar ini, tak lagi mudah ditemui, bahkan di daerah pesisir seperti Maumere, tanah kelahirannya. Di balik karya yang sejuk dan sederhana ini, Aldo sedang menyoal dasar: masih adakah yang menopang kehidupan kita, terutama di kampung-kampung yang kerap kita imajikan sebagai lingkungan yang asri dan lestari?
Alfred W. lahir di Kupang, tinggal di Atambua. Menekuni fotografi sejak tahun 2003 saat bergabung dengan salah satu perkumpulan sosial yang fokus pada isu pengungsian Timor-Timur tahun 1999. Belajar fotografi pada komunitas fotografi di Kupang dan Jogja serta Belu. Senang memotret hal-hal yang berhubungan dengan isu sosial, budaya dan lingkungan. Kini Alfred sedang belajar tentang konsep permakultur dan bergiat sebagai petani.
Tayuko Matsumura lahir di Kupang, tumbuh dewasa di Hyôgo Jepang. Pertama kali datang ke pulau Timor pada tahun 2007 sebagai relawan sosial. Aktivitas sosial membawanya lebih jauh hingga ke Aceh pasca tsunami, gempa Padang, hingga Kashmir-Pakistan. Ia merespons isu-isu sosial di sana dengan berbagi kegiatan. Pernah tinggal dan bekerja di Jakarta sebagai tim redaksi pada media berbahasa Jepang, kemudian kembali ke Timor pada tahun 2016 lantas memilih menetap dan berkarya di Atambua. Suka menggambar dan memotret hal-hal sekitarnya.
Foto dan instalasi
Alfred dan Tayu merekam kehidupan warga kerajaan Leimean dari Timor bagian timur yang kini tinggal di Desa Sadi, wilayah Timor bagian barat. Alfred merekam upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus hidup, seperti peristiwa kelahiran hingga kematian. Secara lebih luas, Tayu mengelola hal-hal mengenai perbatasan.
Dalam sejarahnya, Timor bagian barat dan timur punya dinamika sosial politik yang pelik. Yang paling jelas terekam oleh memori kolektif bangsa Indonesia adalah intervensi politik Indonesia ke wilayah Timor bagian timur sejak tahun 1970-an hingga referendum Timor Leste pada 1999. Timor bagian barat dan bagian timur kini jadi simbol negara dan ideologi politik yang berbeda. Perlu paspor, visa, atau lewat prosedur pas lintas batas untuk saling kunjung. Namun, dalam urusan adat tradisi, perbatasan menjadi samar, abu-abu, bahkan hilang dan melebur. Ikatan-ikatan yang tak terlihat seperti ikatan kultural terus menyimpul kuat. Tanggung jawab dalam keluarga dan kekerabatan tak mengenal “batas”. Silaturahmi tetap bisa berlangsung melalui “jalan-jalan tikus”.
Alicja Rogalska adalah seniman lintas disiplin yang berbasis di London dan Berlin. Praktiknya berbasis pada riset dan subteks politik dalam kehidupan sehari-hari. Ia terutama bekerja dengan konteks spesifik untuk membuat peristiwa, performans, video, dan instalasi dengan kolaborasi bersama pihak lain dan secara kolektif membuat ide emansipatoris untuk masa depan. Ia baru-baru ini mempresentasikan karya di National Gallery of Art (Vilnius, 2023), Scherben, Berlin Art Prize (2022, winner), Manifesta 14 (Prishtina, 2022), Temporary Gallery (Cologne, 2021-22), Kunsthalle Bratislava (2021), Kunsthalle Wien (Vienna, 2020-21), OFF Biennale (Budapest, 2020-21), Art Encounters Biennale (Timișoara, 2019), Tokyo Photographic Art Museum (2019), Biennale Warszawa (2019), Museum of Modern Art (Warsaw, 2019), Kyoto Art Centre (2019) dan Muzeum Sztuki (Łódź, 2019). Rogalska merupakan seniman penerima DAAD Artists-inBerlin program (2020-21) dan sekarang menempuh Ph.D berbasis praktik di Goldsmiths College, London.
Instalasi video satu saluran, warna/suara, 9 menit/Single-channel video installation, colour/sound, 9min.
Atas perkenan Seniman/Courtesy of the artist
Lahir di Polandia dan dibesarkan di sebuah desa kecil di timur laut negara itu dalam keluarga petani multi-generasi yang terlibat dalam gerakan koperasi lokal, Alicja melanjutkan studi di Warsawa, Stockholm dan London untuk kemudian pindah dan bermarkas di Berlin. Praktik Alicja didasarkan pada penelitian yang bersifat interdisipliner dan berfokus pada struktur sosial dan nuansa politik sehari-hari.
Alicja Rogalska bersama Katalin Erdődi, Réka Annus dan Paduan Suara Wanita Kartal, adalah seniman interdisipliner kelahiran Polandia yang tinggal di Berlin dan bekerja secara internasional. Praktiknya didasarkan pada penelitian dan berfokus pada struktur sosial dan nuansa politik sehari-hari. Dia banyak bekerja dalam konteks tertentu, seperti membuat situasi, pertunjukan, video, dan instalasi yang bekerja sama dengan orang lain untuk mencari ide-ide emansipatoris untuk masa depan secara kolektif. Dia berkolaborasi dengan spesialis lokal, mulai dari penyanyi folk dan penggemar board game, musisi jalanan, hingga petani, pengacara, feminis, dan aktivis queer.
Pada tahun 2011 ia membuat karya video Broniów Song dengan grup folk Polandia Broniowianki: sebuah lagu rakyat “kontemporer” yang membahas tentang pengangguran di pedesaan Polandia setelah memasuki UE. Menggunakan pendekatan serupa dan berangkat dari konteks kekayaan tradisi budaya rakyat dan nyanyian di Hongaria, News Medley merupakan kolaborasi antara seniman, kurator Katalin Erdődi, penyanyi folk Réka Annus dan Paduan Suara Perempuan Kartal, sebuah desa dekat Budapest di Hongaria bagian timur. Video tersebut bercerita tentang kehidupan di pedesaan, seperti yang dialami perempuan dari berbagai generasi. Ini menceritakan perubahan di dalam sistem politik dan gaya hidup, dan realitas kerja keras dalam kehidupan sehari-hari, dikomentari dengan humor dan kecerdasan yang tajam oleh anggota paduan suara. Sebuah medley yang terdiri dari lima lagu yang dipilih dari repertoar paduan suara dan ditulis ulang secara kolektif, dengan cara menyatukan kisah-kisah pribadi dengan keprihatinan kolektif tentang kehidupan masyarakat dan masa depan desa.
Alyen Foning tinggal di desa leluhurnya, Kalimpong– tempat komunitas Lepcha, dengan gunung-gunung dan sungai sakral, di kaki timur Gunung Himalaya. Terinspirasi oleh akar budaya dan refleksi hidupnya, Alyen menggunakan karya dan teknik bercerita sebagai media untuk menolong orang-orang lain menyambung kembali relasi dengan lingkungan. Menggunakan kain, warna, musik, dan desain, karyanya menjadi jembatan antara seni dan penelitian, serta antara masa lalu nenek moyang dan generasi masa depan.
Alyen belajar Textile and Apparel design di NID, Ahmedabad. Karyanya diinspirasi oleh alam dan kebudayaan masyarakat indigenos. Ia menciptakan The Story of Munn yang dipamerkan di So Many Feminisms! dan diselenggarakan oleh Godrej India Culture Lab berkolaborasi dengan Zubaan Books pada 2019. Alyen juga punya label desain ALYEN FONING yang percaya pada kekuatan Ibu pertiwi; komunitas, penggunaan ulang dan keterampilan pengrajin lokal dalam menarasikan cerita melaio seni, kata, musik dan sebagainya. Penciptaan seni lokal diinspirasi oleh akar budaya, sejarah lisan, dan perjalanan dalam diri batin kita label desainnya merepresentasikan orang-orang yang serupa yang bekerja bersama untuk menciptakan, berkolaborasi, merayakan memberdayakan dan meningkatkan kesadaran tentang warisan alam sembari mengingat dan merayakan hubungan dengan Ibu Bumi dan biodiversitasnya untuk menghormati dan melindunginya. Dia juga sering mengajar di banyak sekolah desain di India.
Matrahita merupakan sebuah kolektif seni yang beranggotakan Kemala Hayati, Hafizh Hanani, dan Shidqi Al Harris. Berdiri pada tahun 2019 di kota Yogyakarta, Matrahita pada awalnya merupakan sebuah brand merchandise yang menjual beberapa barang seperti Graphic T-shirt dan thrifting. Matrahita secara resmi menjadi kolektif pada tahun 2022.
Matrahita berasal dari dua kata bahasa Sanskerta, yaitu Matra yang berarti doa dan Hita yang berarti kebaikan. Oleh karena itu, Matrahita dapat berarti sebuah doa untuk kebaikan. Dengan mengusung gagasan tersebut, kami berharap dapat menjadi wadah atau tempat yang ramah untuk dapat belajar dan bereksplorasi dalam berkesenian tidak hanya kepada para anggotanya namun juga kepada masyarakat secara umum. Misi kami yaitu dapat mengedukasi dan bermanfaat lewat penciptaan karya seni dan lokakarya. Pada saat ini kami berfokus menggunakan media yang ramah lingkungan (eco friendly) dengan memanfaatkan kembali limbah kain yang ada disekitar kita.
Instalasi tesktil daur ulang
Bagi Foning yang berasal dari komunitas Lepcha, Gunung Kangchenjunga di timur Himalaya memiliki makna spiritual sebagai lokus cerita asal muasalnya. Sungai Teesta yang merupakan aliran dari es yang mencair di gunung Kanchenjunga dan juga rumah dari naga air bernama Oong Sader, merupkan representasi dari memori, cerita, dan kedekatan hubungan masyarakat Lepcha dengan sungainya. Secara paralel, di kaki gunung Merapi di Jawa, juga hidup Api Naga Raja yang kehadirannya mencegah tanah longsor. Karya-karya tekstil daur ulang ini menjalin narasi dan menyajikan representasi visual dari hubungan yang melintasi gunung, roh, dan spesies.
Anang Saptoto, A.Md., S.Sn., adalah seorang seniman, desainer, dan aktivis yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Akademi Desain Visi Yogyakarta (2000-2005), Jurusan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2002-2009), Magister Seni Video Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2023-sekarang). Praktik kolaboratifnya berfokus pada ekologi dan perubahan sosial, serta menggunakan seni sebagai alat untuk mempertanyakan dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Ia sering mendukung gerakan lingkungan hidup, hak asasi manusia dan menciptakan kolaborasi dengan anak-anak, sekolah, komunitas penyandang disabilitas, dan organisasi sosial. Berinteraksi, bersolidaritas, dan berkolaborasi merupakan cara yang ia anggap sangat penting dalam karyanya. Mulai tahun 2020, ia menjadi direktur kolektif MES 56 dan juga pendiri proyek seni dan pertanian Panen apa hari ini (Pari).
Tim Kerja/Collaborator:
1. Kelompok Wanita Tani (KWT) Mawar 4, Ngentak, Bangunjiwo
2. Ahli Tani Pepaya Pak Sadhir
3. Warga RT.04, Ngentak, Bangunjiwo
4. Forum Arsitektur Kampung Kolaboratif (FAKK) Yogyakarta (Angkatan 2)
- Pembimbing: Endah Tisnawati
- Tim desain: Sugiarni Aprilia, Ulil Oktaviana, Nurul Aprilia Wahdania, Wahyu Widayat Jati
- Tim Volunteer: Jovan Kurnia Pradana Mahavira, Muhammad Salim Assaidi, Martino Yuandri Setu Raja
10 kincir angin dengan figur manusia dan alam. Pengecatan pada instalasi angin, polywood, kaleng, media campuran
80x100 cm, 10 bagian
3 set instalasi panel surya untuk mesin irigasi, gubuk, tampungan air, spanduk Pari Perkebunan Pepaya Pak Sadhir
Instalasi gubuk, tandon air, raizbelt, pagar, spanduk Pari di taman KWT Mawar 4, Ngentak, Bangunjiwo
Pajangan kumpulan artefak desain arsitektur dan spanduk Pari di warung KWT Mawar 4
Aktivasi wisata desa bersama KWT Mawar 4 dan Forum Arsitektur Kampung Kolaboratif (FAKK) Yogyakarta
Ana Hoffner ex-Prvulovic* adalah seniman, peneliti dan penulis. Ia tertarik pada budaya queer, aksi pamer kapitalisme global, kolonialisme dan sejarah (Eropa) Timur, bentuk pelarian, psikoanalisis tahap awal, juga politik ingatan atas perang. Hoffner bekerja dengan video, fotografi, instalasi, dan pertunjukan. Dia* menggunakan cara-cara apropriasi seperti menata ulang foto-foto, wawancara, dan laporan, serta mencari cara untuk melakukan desinkronisasi antara bagian-bagian normatif antara tubuh dan bunyi, serta suara dan gambar. Dia* bekerja secara eksplisit untuk melawan dominasi corporate aesthetics saat ini, gambaran rasa jijik dan horor, serta kelompok sayap kanan dengan menekankan pada analisis, kontekstualisasi, dan refleksi.
Pameran tunggalnya terbaru berlangsung di Kunstverein Braunschweig (Active Intolerance), 2023 dan di Kunsthalle Wien, 2021. Ia menerbitkan katalog Contemporary/ Unconscious berbasis pada pamerannya di Kunsthalle Wien, dengan penerbit Sternberg Press in 2023. Ana sekarang menjadi Professor for Artistic Research di Mozarteum University, Salzburg.
*di peralihan dari orang yang lahir tahun 1980 di Paraćin (Yugoslavia), kemudian berpindah pada tahun 1989 dan menerima kewarganegaraan kapitalis (Austria) dengan nama baru pada tahun 2002.
Instalasi video saluran tunggal. warna/suara, 45 menit
Spanduk dicetak pada tekstil
Atas perkenan Seniman
Spiritual Decolonization adalah judul dari karya video ini (yang diambil dari publikasi Pride and Obligation-Galeri Seni Josep Broz Tito dari Gerakan Non Blok, 1984) dan berpusat dari kuliah Perempuan, Pembangunan, dan Gerakan Non Blok yang dibawakan oleh partisipan dari Yugoslavia, politisi, dan feminis Vida Tomšič di New Delhi pada 1985. Film ini merefleksikan pertemanan antara Tomšič dan Vina Mazumdar, seorang aktivis feminis akar rumput dan pionir dari studi perempuan. Set dari kuliah itu bertempat di Galeri Seni Negara-Negara Non Blok di Podgorica (dulu disebut Titograd), yang sudah dipertahankan sejak tahun 1980 oleh empat pekerja seni yang luar biasa. Pertemuan bersejarah antara Vida Tomšič dan Vina Mazumdar terjalin melalui pengetahuan mereka tentang koleksi serta warisan politik budaya non-blok. Video tersebut disertai dengan tekstil yang termasuk spanduk peristiwa fiksi, konferensi, dan pameran yang tidak pernah terjadi, namun mengajak kita membayangkan seperti apa sejarah seni feminis transnasional.
Anca Benera dan Arnold Estefán telah bekerja secara kolaboratif sejak 2012. Mereka menekankan praktik berbasis riset dan lintas disiplin yang didedikasikan untuk narasi sejarah, sosial, dan geopolitik, serta struktur kuasa di belakangnya. Karya-karya mereka menjelajahi cara militer membentuk lanskap, iklim, komunitas dan bagaimana satu sama lain terikat dengan pemerasan bumi sebagai komoditas ekonomi.
Terentang dalam beragam media, termasuk instalasi, video dan performans, karya mereka telah dipamerkan di n.b.k Berlin (2023-solo), Laboral Centro de Arte, Gijon, Spain (2023), Whitechapel London (2022), Museum Tinguely, Basel (2022), Migros Museum, Zurich (2021), 39th EVA International-Ireland’s Biennial (2020), MUCEM, Marseille (2019), Frac des Pays de la Loire, Nantes (2018), MUMOK, Vienna (2017), ZKM, Karlsruhe (2016), The Jewish Museum, New York (2016), Vienna Biennale, MAK, Vienna (2015), MAK Centre for Art and Architecture, Los Angeles (2016), The School of Kyiv-The Biennale, Kyiv (2015), Off Biennale, Budapest (2017, 2015), Kunsthalle Wien (2014), 13th Istanbul Biennial (2013), La Triennale, Palais de Tokyo (2012).
Instalasi (jerami padi) berkolaborasi dengan Dwi Anggoro Mandiri
5 objek
Dimensi Variabel
Karya Perpetual Harvest pertama kali dibuat untuk pameran Chronic Desire di Timișoara 2023 European Capital of Culture di Romania. Dalam situasi perang Rusia-Ukraina, karya ini memperlihatkan pangan dan agrikultur dipersenjatai, bagaimana pelarangan ekspor pangan menjadi lebih berbahaya dari serangan bom atau misil. Untuk Biennale Jogja 17, 'balistik primitif' dibuat dari tangkai beras bersama dua artisan lokal sebagai cara mengkontekstualisasikan politik produksi dan komersialisasi beras menggunakan material dan kekriyaan lokal.
Anca Bucur (lahir 1989) adalah seniman visual dan penulis, berbasis di Bucharest, Rumania. Ia menyelesaikan pendidikan di University of Bucharest, dengan latar belakang sastra dan kajian budaya. Karyanya merupakan hasil dari riset panjang yang ditransformasi dalam berbagai media; objek, video, suara dan teks. Belakangan, ia berfokus pada penelitian tentang materialitas tubuh dan tanah dalam relasinya dengan ruang-ruang dan sejarah lokal. Ia tertarik pada aspek politis dan epistemologis karya seni. Anca Bucur menjadi penulis dari beberapa buku antologi dan editor di frACTalia press.
Instalasi tekstil
Instalasi suara berkolaborasi dengan Chlorys dan Sofia Zadar
Variabel Dimensi
Atas perkenan Seniman
Bagian dari bahan tekstil yang dibuat di Rumania dan digunakan dalam instalasi adalah milik: Victoria Bucur, Elena Bucur, Stelica Săvulescu, Stanca Săvulescu, Ana Cocorăscu, Mioara Ciorîcă, Loria Bucur. Selama masa residensi jangka pendeknya di Yogyakarta, Anca mencoba meneliti hubungan sosial, politik, dan ekonomi antara tanah dan perempuan. Oleh karena itu, ia bertemu dengan anggota Solidaritas Perempuan Kinasih dan anggota Kelompok Wanita Tani di Ngentak, Bangungjiwo. Sebuah karya tekstil baru, yang menyertai proses penelitian situasional dari A labor of love, telah dihasilkan dari interaksi ini.
Terima kasih secara khusus kepada: Valentina Ionescu, Ibu Martini.
Anusapati lahir di Solo, Indonesia, dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Dia menyelesaikan pendidikan di ASRI, Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan gelar master dalam disiplin patung di Pratt Institute, Brooklyn, New York. Sejak 1985 Anusapati sudah mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan menyelesaikan tugasnya sebagai profesor pada 2022. Ia disebut sebagai salah satu pematung yang berpengaruh dalam sejarah seni di Indonesia, dan menjadi Ketua Asosiasi Pematung Indonesia. Dia telah berpartisipasi dalam beberapa Pameran internasional seperti The Biennale IX Jakarta (1993), India Triennalle VII (New Delhi,1993), Johannesburg Biennale (1994), Asia-Pacific Triennale of Contemporary Art (Brisbane,1996), Venice Biennale (1997), Indonesia Art Summit (Jakarta 2003) dan Asian Potential (Nagoya 2005). Anusapati memenangkan The Best Work Award dalam Biennale IX Jakarta (1993) dan The Best Work dalam Indonesia Sculpture Triennale (1996). Karyanya telah dikoleksi beberapa museum seperti; Indonesia National Gallery, Queensland Art Gallery dan Singapore Art Museum. Instalasi publiknya terpajang di Bandung, Bengkulu dan Bali.
Anyaman Bambu
Anusapati adalah pematung yang banyak bekerja dengan material-material alam untuk melihat perubahan fisik keterhubungan manusia dan non manusia yang saling memberi makna baru. Karyanya untuk Biennale Jogja 17 adalah sebuah instalasi skala besar di luar ruang yang mencoba menggali kembali keterampilan pertukangan dan penggalian ornamen keseharian yang dalam beberapa dekade belakangan telah diterima sebagai hal yang terberi, sehingga kehilangan maknanya. Bersama para penganyam bambu dari kawasan Bangunjiwo, Anusapati membuat struktur arsitektural yang merespons lanskap sekitar dengan filsafat dan sejarah lisan yang terkandung dalam benda keseharian.
Dalam anyaman tersebut terdapat motif sudamala yang dalam kepercayaan Hindu (Bali) diartikan sebagai motif tolak bala untuk menjauhkan manusia dari situasi buruk. Sudamala juga mengandung pertemuan simbol lelaki dan perempuan, atau melebur batas dari hal-hal yang biner. Motif sudamala turut hadir dalam perlengkapan upacara Bali sebagai bentuk doa untuk memohon berkah serta dijauhkan dari hal negatif. Anusapati mengisi struktur tersebut dengan aneka tanaman penyembuh atau sering menjadi bahan pembuatan jamu, obat alami dalam tradisi Nusantara.
Lahir di Solo, Arum Dayu memulai karir kreatifnya sebagai jurnalis foto untuk harian Kompas. Ia lulus dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (2002-2007) dan diploma dalam foto jurnalisme dari Ateneo de Manila University pada 2012. Selanjutnya ia mendapatkan gelar master seni visual dari Institut Teknologi bandung. Ia menginisiasi kelompok Kami Punya Cerita di Tobucil and Klabs, Bandung, dan sekarang menjadi bagian dari Omnikolektif di kota yang sama. Ia juga masuk ke dalam skena musik melalui aktivitasnya bersama Tetangga Pak Gesang dan Syarikat Idola Remaja.
Arum telah berpartisipasi dalam banyak pameran, baik nasional atau internasional, di antaranya: UNDRR exhibition Disasters Are Not Natural di New York 2023, Bandung Photography Triennale 2022, Julius Baer Next Generation Finalis Exhibition 2021, Ballarat International Photo Festival 2021, Future Cosmogonies of Resistance, Galeri Lorong 2021, Flux de Mémoire/Arus Memori 2020, #Perempuan (Space 28 VCA Melbourne), dan Identity Crisis: Reflection on Public and Private Life in Contemporary Javanese Photography (Johnson Museum of Art, Cornell University, New York, 2017). Ia juga pernah melakukan residensi bersama program Village Video Festival di Jatiwangi Art Factory, dan di Cemeti-Institute for Art and Society, Yogyakarta.
Video dan Lagu
Karya lagu dan video senam ini berangkat dari kesadaran akan pentingnya ruang untuk perempuan. Terdapat empat buah lagu yang liriknya dibuat bersama dengan ibu-ibu Kring Ngentak, Bangunjiwo. Lagu-lagu tersebut menceritakan tentang keseharian dan beberapa aktivitas ibu-ibu di Bangunjiwo. Lagu Sayuk Rukun bercerita tentang bagaimana mereka hidup rukun bersama warga. Lagu Ibu Sing Ora Lali bercerita tentang peran ibu dalam keluarga dan mengasuh anak. Lagu Asolola bercerita tentang senam sebagai salah satu ruang untuk ibu-ibu mengekspresikan kreativitas mereka melalui gerakan. Dan lagu Nguri-uri Lemah bercerita tentang kegiatan kelompok ibu-ibu dalam merawat bumi dengan mengolah lahan dengan menanam sayuran. Semua lagu dinyanyikan perwakilan dari ibu-ibu dari Kring Ngentak. Lagunya diremix oleh kolektif musik asal Yogyakarta, Prontaxan
Lagu-lagu ini menjadi pengiring untuk senam kreasi yang sedang digandrungi ibu-ibu di wilayah ini. Senam kreasi adalah jenis senam yang menggabungkan gerakan-gerakan fisik dengan elemen-elemen kreatif, seperti gerakan tarian, musik, dan ekspresi diri. Senam ini tidak hanya memberikan manfaat fisik, tetapi juga manfaat psikologis dan sosial. Senam seringkali dilakukan dalam kelompok, sehingga dapat menjadi kesempatan bagi ibu-ibu untuk bertemu dengan orang-orang baru dan memperluas jaringan sosial mereka.
Betty Adii adalah seniman yang berasal dari Papua, dan sedang menempuh pendidikan di Fakultas Seni dan Bahasa, Universitas Negeri Yogyakarta. Pencariannya akan makna hidup dan perjuangan mendorongnya untuk mempertanyakan posisi dan identitas Perempuan Papua yang bersinggungan dengan konteks sosial, politik dan budaya. Ia menggabungkan kerja-kerja aktivisme, terutama yang berfokus pada upaya untuk menyuarakan isu-isu perempuan dalam kaitannya dengan trauma kekerasan akibat militerisme dan kolonialisme, termasuk konteks neo-kolonialisme Orde Baru dan setelahnya di Papua. Karya-karyanya dimaknai sebagai ruang temu pengetahuan dan pengalaman antar perempuan sehingga ia kerap mengomunikasikan bentuk visual yang banyak menggunakan simbol-simbol ketubuhan sebagai pembacaan atas kompleksitas ruang hidup itu sendiri.
Melalui jejaring kerja dengan kelompok aktivis dan seniman, Betty mempresentasikan suara dan gugatan dari mereka yang terlupakan, sehingga mendapatkan perhatian dan empati dari publik yang lebih luas. Melalui gambar, lukisan dan karya instalasi, Betty menggugah narasi perlawanan dan semangat solidaritas terhadap persoalan yang dialami oleh perempuan Papua. Betty menjadi bagian dari kolektif Udeido, dan bersama mereka telah berpameran di Museum MACAN, Jakarta, serta baru-baru ini di Museum of Contemporary Art Ljubljana Slovenia.
Lukisan, Pewarna Alami di atas Kanvas
Dalam karya ini Betty bereksperimen dengan bahan-bahan pewarna alami yang bisa diperoleh dari alam. Baginya eksperimen ini amat penting, karena praktiknya sendiri dekat dengan isu-isu ekologis dan perempuan. Dalam eksperimen materialnya ini, Betty memutuskan untuk menggambar sosok-sosok perempuan yang ia kenal temui karena kerja-kerja aktivisme mereka. Baginya, sosok-sosok ini penting, karena mereka secara jujur dan tegas memperjuangkan hak-hak perempuan dan lebih jauh dari pada itu, koeksistensi dan keutuhan ciptaan. Melalui karya ini Betty ingin menggarisbawahi komitmen dan perlawanannya atas bentuk-bentuk pelecehan terhadap tubuh, perampasan ruang hidup, dan eksploitasi terhadap sumber daya-sumber daya alam yang mengancam kehidupan bersama.
Patung
Karya patung ini adalah eksplorasi Betty dengan material tanah liat. Betty ingin menggambarkan relasi perempuan dengan tanah. Dalam banyak kebudayaan, tanah dipandang sebagai ibu, sebagai rahim yang memberi kesuburan juga kehidupan. Modernisme dan cara padang positivistiknya kerap mengobjektivikasi tanah untuk dikeruk habis-habisan demi kepentingan manusia. Dalam kasus yang lain, objektivikasi terhadap tubuh perempuan terus berlangsung, lewat media maupun kasus-kasus kekerasan di ruang-ruang paling personal seperti rumah tangga. Hari-hari ini, rasanya perspektif tentang tanah perlu diselidiki kembali, salah satunya dengan mengembalikan aksi pemaknaan atas tubuh dan tanah kepada perempuan, yang merawat dan yang menumbuhkan.
Bidhyaman Tamang adalah seniman grafis asal Nepal yang lulus Lalitkala Campus dengan fokus pada seni grafis untuk gelar masternya. Ia menerima Australian Himalayan Award pada 2020 and penghargaan nasional pada 2021. Tamang berpartisipasi pada Kathmandu Triennale 2077 B.S. dan the Kochi-Muziris Biennale pada 2023. Sekarang ia mengajar di Kathmandu University. Karyanya telah dipamerkan di berbagai negara.
Tamang lahir pada 1994 di Ramechhap, Nepal. Ia secara mendalam merefleksikan dampak dari migrasi dan urbanisasi pada kehidupan rural. Karyanya secara sangat indah menggambarkan esensi serangga, kehidupan pertanian, dan ekosistem, menjadi pengingat bahwa kita harus menjaga hubungan dengan alam. Melalui seri Memories of the soil, Tamang bertujuan untuk membangun kembali hubungan dengan asalnya dan menciptakan ruang untuk elemen-elemen yang hilang dalam pembangunan urban yang didominasi oleh hunian mewah. Karir seninya membawa pesan mendalam tentang pentingnya melindungi lingkungan alam dari gempuran pembangunan urban.
Atas perkenan Seniman
Karya Tamang membicarakan secara tajam tentang memori nostalgia dari kehidupan di desanya, waktunya dihabiskan untuk terpukau dengan dunia serangga di ladang terbuka, dikelilingi oleh capung, kupu-kupu, semut, lalat, kunang-kunang, lebah, tawon, dan ngengat. Sekarang kita menghadapi realita menyakitkan bahwa populasi serangga semakin menurun dan dampak ketidakhadiran mereka dalam ekosistem kita. Karya grafis ini menawarkan sepotong dunia yang terasa familiar namun juga jauh—dunia arthropoda dan rerumputan, tanaman liar dan ekosistem, dari tanah dan memori yang berjuang mencari tempat di tengah lahan perkotaan yang menggila.
Chet Kumari Chitakar (usia 63) merupakan satu dari perempuan yang meneruskan praktik membuat print blok kayu yang menjadi tradisi di kawasan lembah Kathmandu, bagian dari Newar, masyarakat adat di daerah itu. Jenis seni ini sangat tua tetapi sering terabaikan. Chet Kumari menikah dengan lelaki suku Newar dan sejak itu ia mempelajari tradisi cetak blok kayu ini dari ibu mertuanya. Para keluarga dari Newar memang sangat dikenal sebagai pencipta seni dan kriya, yang menjadi bagian dari agama dan budaya yang penting dalam kehidupan di Nepal. Tradisi ini dimulai pada Abad 17, dan sampai sekarang poster-poster dan cetak gambar Dewa dan Dewi masih sering ditemukan jika masa festival agama tiba. Bagaimanapun, kerja yang detail dan menyita waktu dari jenis karya ini perlahan mulai digantikan oleh cetak mesin dan cetak digital. Meskipun teknologi telah mengurangi keuntungan ekonomi dari penciptaan model lama, seniman seperti Chet Kumari masih terus melanjutkan tradisi keluarganya sebagai dedikasi terhadap bentuk seni itu sendiri dan komitmen untuk terus merawat keterampilan kriya ini.
Warna pigmen pada kertas Lokta
Atas perkenan seniman dan Artee Nepal
Chet Kumari Chitrakar adalah salah satu dari sedikit seniman yang terus memproduksi cetakan lukisan tangan. Meskipun tradisi seni Newa yang terstruktur dan formal dipelajari secara ekstensif, seperti halnya lukisan Paubha, bentuk seni vernakular dan yang dapat diakses sering kali diremehkan. Dia melanjutkan tradisi unik di Lembah Kathmandu, di mana balok kayu, atau yang dikenal dengan sebutan thāsā, secara umum dipakai oleh perempuan di komunitas Chitrakar untuk membuat cetakan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan artistik di berbagai festival desa.
Saat ini, cetakan offset Dewa dan Dewi yang diimpor telah sepenuhnya mengambil alih pasar, sehingga meruntuhkan nilai komersial dan prestise dari gambar cetakan blok lama dan gambar yang dilukis dengan tangan. Dengan menurunnya keuntungan, meningkatnya modernisasi, dan berkurangnya pengabdian, banyak bentuk warisan tak benda, seperti cetak blok, hilang secara bertahap. Chitrakar mengaku kini bekerja semata-mata demi menjaga tradisi cetak blok agar tetap hidup.
Dan Vezentan menjelajahi semesta budaya tanam dan teknik pemeliharaan hewan, menampilkannya secara subjektif, untuk memasuki ingatan masa kecilnya. Karyakaryanya terentang dari desain alat rumah tangga, sistem pakan hewan atau sistem pengairan, dan bagaimana teknik penyimpanan makanan, menginvestigasi produksi pangan, limbah biologis dan dampak ekologisnya. Ia tumbuh dalam konteks lingkungan yang sangat dekat dengan budaya tani di Maramureș, Romania Utara, dikelilingi oleh mesin pengolah pangan, manual teknik rumahan dan buku-buku anatomi hewan.
Tongkat dan keranjang bambu
450x470 cm
Dan Vezentan mengeksplorasi dunia zooteknik dan pertanian, menyajikannya secara subyektif, sambil mengenang masa kecilnya. Karya-karyanya berasal dari desain rumah tangga, sistem pemberian makan dan minum hewan, atau dari sistem penyimpanan makanan, menyelidiki produksi makanan, surplus, limbah biologis dan ekologi. Ia dibesarkan dalam konteks lingkungan berbasis pertanian di Maramureș, Rumania Utara, dikelilingi oleh mesin pakan, manual teknis peternakan, dan buku anatomi hewan.
Praktik Dan Vezentan berkisar pada bidang zooteknik dan pertanian, proses domestikasi tanaman dan hewan. Karya-karyanya berasal dari desain rumah tangga, sistem pemberian makan, pengairan atau penyimpanan hewan, mengeksplorasi perubahan teknologi di daerah pedesaan, pergeseran rasio antara panen dan limbah biologis, atau produksi pangan vs. ekonomi sirkular.
The Rice Collector adalah instalasi spesifik lokasi yang dikembangkan untuk Jogja Biennale 17 dan merupakan bagian dari rangkaian karya yang sedang berlangsung–Harvesting Structures–yang dirancang sebagai alat panen utopis dan struktur monumental yang memberikan penghormatan kepada pekerja pertanian. Struktur The Rice Collector dirakit dari bahan lokal menggunakan berbagai jenis bambu, keranjang beras lokal, dan kabel serat alami. Bertempat di tengah lahan kering, pekerjaan ini juga mengatasi masalah kekurangan beras akibat kekeringan yang disebabkan oleh perubahan musim, privatisasi lahan, dan urbanisasi yang semakin mempengaruhi daerah pedesaan Bangunjiwo dan ekosistem lokal.
(Didirikan di Kathmandu) Beberapa tahun yang lalu, Untamable Dankini mulai terbentuk sebagai sesi ventilasi kecil-kecilan dalam kelompok yang lebih kecil. Hal ini muncul dari kebutuhan terhadap ruang untuk melepaskan emosi dengan aman, mencari validasi dan dukungan, melakukan refleksi diri, dan mengambil tanggungjawab pribadi tanpa terus-menerus merasa perlu bersikap defensif di dunia yang patriarkis dan bias gender. Kami ingin memprioritaskan istirahat dalam sistem yang terus-menerus melelahkan kami. Kami percaya bahwa kepedulian kolektif dapat memutus siklus trauma. Kita berharap dapat sembuh dan bertumbuh, agar kita tidak menyakiti orang-orang di sekitar kita secara tidak sengaja. Kami berhak mendapatkan hiburan, kami akan memelihara kelangsungan hidup.
Derek Tumala (lahir 1986, Manila, Filipina) adalah seorang seniman visual yang bekerja dengan teknologi baru, gambar bergerak, bahan dan objek industri. Praktik berkeseniannya berkutat pada ranah sains dan alam, merenungkan gagasan saling terhubung antara dua ranah tersebut. Dengan membentuk sebuah ekologi dan sistem pemikiran, Tumala melihat persamaan hubungan antara manusia dan lingkungan buatan maupun dengan lingkungan alaminya. Tumala mengkaji dan memahami bagaimana dunia bekerja lewat penelusuran mendalam terhadap kenyataan sebagai materi untuk karyanya. Karya seni Tumala telah dipresentasikan di Art Basel Hong Kong, Museum of Contemporary Art and Design-Manila, Formosa Art Fair Taiwan, Georgetown Festival, Malaysia, FLAME HK Video Art Fair, Asia Art Awards Tokyo, ASEAN Exhibition, Korea Selatan. Dia juga telah memamerkan karyanya di Cultural Center of the Philippines, UP Vargas Museum, dan Art Fair Philippines. Dia pernah menjadi Seniman Residensi di Observatorium Manila, Delfina Foundation di London, Inggris, Fellowship Apexart di New York City, Amerika Serikat, Seminar Global Salzburg di Austria, Residensi Beyond Time di Polandia, dan Residensi Flash di Bellas Artes Projects, Filipina. Dia mendapatkan penghargaan untuk karyanya Sacred Geometry di Ateneo Art Awards 2015 di Manila, Filipina. Dia juga bagian dari STEAM/Projects, sebuah kolektif seniman yang bekerja lewat pertemuan seni dan sains.
Karya-karya Derek Tumala dalam Biennale Jogja 17 merupakan reformulasi dan penajaman dari proyek yang telah cukup lama ia kerjakan, terutama selama masa pandemi, yang menelisik bagaimana perubahan bumi dan iklim memberi pengaruh besar dalam konteks anatomi tumbuhan pangan dan mendorong redefinisi industri pertanian secara luas. Proyek Tropical Climate Forensic dari Derek Tumala secara mendalam mengamati data-data yang berkaitan dengan atmosfer dan situasi bumi, untuk memberikan pemahaman bagaimana krisis iklim berkembang dan alam berubah. Apalagi Filipina berada dalam garis khatulistiwa dan dilintasi cincin api, dengan banyaknya gunung api dan aktivitas seismik karena letaknya yang dekat dengan Samudra Pasifik.
Dalam konteks Filipina sendiri, atau Asia Tenggara secara khusus, kebijakan intensifikasi beras sebagai pangan pokok menjadi bagian dari politik ekonomi kapitalistik yang melihat beras semata-mata sebagai komoditas. Di Filipina didirikan pusat penelitian dan pengembangan beras yang skala besar, yang pada 1980-an menandai kerja sama pertanian regional yang memiliki peran penting. Selama residensinya di Manila Observatory, Derek fokus pada bagaimana perubahan iklim mempengaruhi proses prediksi cuaca dan cara membaca tanda alam, yang di masa lalu sangat penting bagi para petani.
Foto-foto yang dikumpulkan oleh Derek Tumala merupakan arsip dari narasi yang saling terkait antara iklim, perubahan lanskap dan politik pangan, khususnya beras. Dengan melihat lintasan sejarah, pengunjung (terutama di sekitar Kawasan Lohjinawi) diundang untuk memanggil memori kolektif tentang proses pengolahan lahan dan bagaimana cara membaca cuaca menjadi pijakan penting bagi teknologi tani dan pangan.
Dipak Lama adalah seniman visual dan pendiri Aakar Kalaghar yang berbasis di Kathmandu. Ia lulus dari Kathmandu University School of Arts, Center for Art and Design. Praktik seninya mencakup lukisan, patung, instalasi dan penjelajahannya atas patung dan material sangatlah luas. Karakter khas dari karyanya adalah ukuran yang besar dengan keseimbangan atas bentuk dan ruang. Ia mendapat anugerah khusus dalam Contemporary Sculpture in National Exhibition 2019 yang diselenggarakan oleh Nepal Academy of Fine Arts. Ia telah berpartisipasi dalam banyak pameran, lokakarya, proyek seni, festival, di antaranya Kathmandu International Photo Festival edition 2015, 2016 and 2018 sebagai koordinator produksi. Baru-baru ini menjadi Direktur Produksi Kathmandu Triennale 2077, Festival Seni Internasional di Kathmandu. Sekarang tengah menjalani program residensi untuk Waste to Art Project phase-II di Sagarmatha Next Centre yang diorganisir oleh Saraf Foundation. Selain praktik seni, ia juga bekerja sebagai konsultan produksi
untuk beberapa proyek berkaitan dengan seni.
Shreeti Prajapati adalah seniman visual yang tinggal di Kathmandu. Perjalanan seninya dimulai dengan menangkap objek-objek keseharian dan menemukan
ruang dalam catatannya. Seiring tumbuhnya minat seni, ia menemukan keterhubungan antara orang dan ruang, yang menginspirasinya untuk menciptakan narasi visual dan seni yang bisa menembus batas. Shreeti bekerja dengan beragam medium, membuatnya dengan mudah menciptakan karya di mana pun, baik di atas meja, di atas tikar atau bahkan dibawanya ke dalam tas. Karyanya bertujuan untuk menceritakan kisah dari beragam lanskap identitas dan eksistensi, menumbuhkan relasi dan emosi personal pada penonton. Ia mengeksplorasi hubungan yang rumit antara ruang, masyarakat, dan narasi yang merekatkan mereka.
Atas perkenan Seniman
Kedua seniman ini memanfaatkan hubungan keluarga mereka dengan pertanian untuk mengeksplorasi dinamika antara produksi pangan dan hubungan masyarakat. Pengetahuan masyarakat adat mengenai pertanian sering kali diturunkan melalui proses pedagogi yang diwujudkan di mana seseorang perlu merasakan dan mengenali tanaman sepanjang siklus hidupnya agar dapat memahami apa yang harus dilakukan; secara bersamaan, sosok ibu di dalam keluarga memainkan peran penting dalam proses pedagogi tersebut. Pertanian dengan demikian merupakan kegiatan yang mempertemukan manusia melalui kegembiraan, nyanyian, tarian, dan pesta. Pengunjung diajak berinteraksi dengan butiran beras terakota, menyentuh, menyebarkan, dan membentuk pola; dan dengan melakukan hal tersebut, mereka mengeksplorasi pemahaman mereka mengenai tradisi yang membentuk apa yang kita konsumsi.
Dwi Putra Mulyono Jati, atau biasa disapa dengan panggilan Pak Wi. Lahir di Yogyakarta pada 10 Oktober 1963. Saat kelas 3 Sekolah Dasar, Pak Wi kecil mengalami hambatan pendengaran. Karenanya proses belajar menjadi terganggu. Ia tidak naik kelas dan harus mengulang. Ternyata di tahun berikutnya, ia tidak naik kelas lagi. Pihak sekolah menyarankan agar Pak Wi berpindah ke Sekolah Luar Biasa (SLB) khusus tuli.
Pak Wi, dengan segala kondisi yang menyertai, bukan tak bisa apa-apa. Dia mulai berkarya sejak 36 tahun usianya. Ratusan karya telah dibuatnya sejak tahun 2000 dengan menggunakan cat warna, kanvas, dan berbagai media digunakan sebagai bahan melukisnya. Sedari batu arang, tanah liat yang dibentuk dan ditempel pada papan dan diwarnai, juga kertas dengan berbagai bahan pewarna lain.
Dwi Putro Mulyono atau akrab disapa dengan Pak Wi memulai kerja visualnya sebagai bagian dari upaya merawat dirinya sebagai seorang difabel mental. Pak Wi menuangkan energinya untuk menggambarkan fantasi-fantasi bawah sadar yang terlintas sekejap, serta merekam ingatan visual yang dimaknai dengan caranya sendiri. Ia memberi perhatian pada anatomi objek-objek, yang digambarnya secara intensif, yang sering mencapai ratusan tiap jenisnya.
Sepanjang 2023, Pak Wi memulai seri menggambar wayang, misalnya gambar wayang cina yang menjadi cara khas asimilasi budaya dari pendatang di Nusantara. Untuk Biennale Jogja 17, Pak Wi menggambarkan tokoh-tokoh wayang perempuan, dimulai dari Cangik dan Limbuk, dua tokoh yang sering dianggap sebagai representasi pelayan tetapi perannya cukup sentral dalam cerita wayang Jawa. Dari sini, Pak Wi juga menggambar tokoh perempuan wayang yang lain, mulai Drupadi, Srikandi, dan sebagainya. Pak wi menafsir kekuatan para perempuan ini melalui goresan dan gradasi warna, menyampaikan apa yang terpendam dalam pikirannya yang mengembara.
Eduard Constantin adalah seorang seniman dan desainer yang berbasis di Bucharest, Romania. Ia bekerja dengan berbagai media, dan banyak proyeknya memiliki karakter yang fokus pada prosesi, berkembang sebagai seri dalam periode waktu yang berbeda. Beberapa proyek terbarunya termasuk: 8 million (2022-in progress), karya jangka panjang yang merenungkan jumlah kuda yang mati selama Perang Dunia I; All Inclusive (2021-in progress), serangkaian lukisan cat air yang menggambarkan adegan dari kota-kota di mana realitas berbeda hidup berdampingan; Passers-by with no Shadow (2020-in progress), serangkaian lukisan cat air yang direalisasikan selama keadaan darurat yang disebabkan oleh pandemi virus corona; The Last (2019-in progress), serangkaian gambar spesies yang punah, dicatat sejak tahun 1977, tahun kelahirannya; Resurfaced (2020-in progress), kembali melihat spesies yang punah tetapi muncul kembali, dan The First (2015-in progress), menampilkan orang, objek, atau situasi dalam proses membuat monumen setempat dan yang dianggap penting bagi kehidupan dan praktik berkeseniannya. Dia adalah anggota-pendiri, sejak tahun 2021, dari Experimental Station for Research on Art and Life, proyek kolektif yang terletak di desa di dekat Bucharest. Dia adalah anggota Association of Artists of Malmaison Studios. Sejak didirikan pada tahun 2012, ia telah bekerja sebagai desainer grafis dan pameran dengan tranzit.ro Association. Pada tahun 2003, ia adalah salah satu pendiri e-cart.ro, media situs web seni kontemporer.
Konstruksi bambu
Berkolaborasi dengan Hutomo Syaputra
Eduard Constantin adalah seorang seniman dan desainer. Ia bekerja dengan berbagai media dan banyak proyeknya yang bersifat prosesual, berkembang sebagai rangkaian pada periode waktu yang berbeda. Ia juga merupakan anggota aktif dalam membangun dan mengembangkan The Experimental Station for Research di Siliștea Snagovului di dekat Bucharest. Selama singgah di Bangungjiwo, ia mendalami material lokal dan mengamati aktivitas sehari-hari masyarakat desa setempat. Pelindung. Shelter from the Sun merupakan konstruksi bergerak yang terbuat dari bahan ringan, yang dapat menemani pekerja di lapangan, trekker di hutan, atau seniman yang bekerja di alam terbuka. Dapat diwujudkan dari bahan lokal, mudah dicari, ditekuk dan dirakit. Ini memberikan perlindungan dari sinar matahari, tempat untuk menyandarkan tubuh yang lelah, atau titik observasi. Ini adalah tempat tidur dan bangku, payung dan gazebo. Dapat dibawa ke mana pun diperlukan, dan juga dapat memberikan keteduhan bagi anak yang sedang tidur atau kucing yang bersembunyi.
Ela Mutiara Jaya Waluya adalah koreografer dan penari asal Sukabumi, Jawa Barat. Menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pengalaman berkesenian di antaranya residensi Shadow Light Production; penerima hibah Jagongan Wagen (2019); penari 12 jam Isola Menari ke-9; Dance of Light (Multidisciplinary art project); Seniman Mengajar 2018; asisten koreografer Festival Tiga Gunung di Lembata, NTT; Jerukwudel Art Festival; Nanaria Festival di Bondowoso; Artjog; Paradance; seniman kolaboratif gugus bagong 2020; residensi Bodies of Care Dokumentari 03 2021; pameran Bodies of Care Salihara 2021; penerima Hibah Danakitri Sukabumi Creative Hub 2021; koreografer terpilih West Java Contemporary Dance Festival 2021; kolaborator bersama Minori Sumiyoshiyama IDF 2021 Layar Terkembang; Asana Bina Seni Biennale Jogja 2022; Temu Koreografer Indonesia Bertutur (Bali) 2022 dan lain-lain.
Video dua saluran, suara, instalasi objek-jadi
Karya ini membentang kesenian Bajidoran tidak hanya sebagai media hiburan dan ekspresi artistik yang tumbuh di lingkungan rakyat kelas menengah ke bawah, tetapi juga bagaimana penari perempuan menjadi subjek yang menjalankan agensi kultural dan politik dalam menawar ketimpangan relasi gender, terutama antara penari perempuan dengan penontonnya yang mayoritas laki-laki.
Ela Mutiara membangun narasi perempuan dengan memasuki koreografi Bajidoran yang bertumpu pada gerakan pinggul dan dada untuk melihat bagaimana sensualitas justru menjadi kekuatan untuk menantang paradigma patriarkis dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Endang Lestari menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Selain sebagai seniman dan dosen tamu, ia juga menjalankan Program ArsKala sejak 2014. Sebagian besar karyanya mengacu pada objek dan tokoh dalam berbagai konteks naratif melalui media dan teknik yang berbeda, karya dua dimensi, hingga instalasi media baru. Ketertarikannya pada pengalaman bawah sadar dan hubungannya dengan konteks alam, sejarah, dan memori membawa bentuk intertekstual pada karyanya.
Tari telah berpartisipasi dalam beberapa pameran dan residensi di Indonesia dan luar negeri, serta delapan kali menyelenggarakan pameran tunggal, beberapa pamerannya: Endless: Me and Other di Liechtenstein Triennale dan lokakarya keramik Kunstschule Liechtenstein, Swiss dan Austria (2021). Pameran tunggal Electralogy, Shigaraki, Jepang (2011). Berpartisipasi dalam Jakarta Contemporary Ceramic Biennale (2009 dan 2011), dan finalis Bandung Contemporary Art Awards (2010). Menampilkan karya instalasi keramik dan video mapping pada Rainforest Fringe Festival, The Forgotten Forest, Old Court House, Kuching, Malaysia (2017). Karya-karyanya Conversation in Silence, City Lost in Words, dan Forbidden to Tread on the Grass, bagian dari ulasan penelitian dan sebagai sampul buku dalam Gendered Wars, Gendered Memories, seri buku Europe and Beyond, Ashgate, terbitan Routledge grup London dan New York (2016).
Keramik, Foto Proyektor, Tali, Pasir, dan Cermin
Variabel Dimensi
Dalam seri karya terbarunya untuk BJ-17 Tari menghadirkan Instalasi keramik yang mengangkat kisah tentang pelabuhan, mobilitasnya antara Aceh- Jogja dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sejarah jalur rempah dan pengaruhnya terhadap pembentukan tatanan modern dan bagaimana nilai tradisi terus bernegosiasi dalam memberi proses pertukaran kerangka pemahaman yang terus terjadi sampai sekarang. Tari menggunakan pengait/pengikat tali kapal yang dibuat dari keramik sebagai metafor daratan dari sebuah pelayaran kapal datang dan pergi dalam bentuk instalasi yang diberi goresan dan gambar tentang rempah aceh, dan teks yang tumpang tindih pada setiap sisi keramik. Caranya berkarya banyak dipengaruhi oleh bagaimana penyair berkarya melalui bahasa rupa, dalam hal ini keramik dan multimedia sebagai pokok perhatiannya, Tari menata karyanya sebagai sebuah performativitas, mengolah objek, membuat garis, gambar, tekstur dalam tahapan dan rangkaian puisi rupa.
Tembikar/ tanah liat terakota, tanah, kayu, batu
Dimensi Variabel
Karya ini ditempatkan di sebuah Joglo di area Joning Art Space (Jomblang Kemuning) yang terletak di perbatasan kelurahan Bangunjiwo dan Pendowoharjo, tepatnya di barat daya desa wisata Kasongan, penggunaan material tanah liat terakota yang biasa digunakan masyarakat kasongan untuk membuat gerabah, dihadirkan dalam bentuk bulat beraneka rupa, dalam kondisi tidak terbakar untuk mendapatkan reaksi tanah terhadap kondisi cuaca dan alam, bahkan perilaku manusia, audiens akan diajak berinteraksi merespon dan juga membuat karyanya sendiri dan dapat diletakkan bersama karya yang sudah tertata untuk merasakan langsung tekstur tanah dan keterlibatan dalam laku format pola mandala yang disusun berpusat dan melingkar. Dan merasa pulang kembali ke tanah.
Catatan: Argilla bahasa latin dari tanah liat.
Erub Erwer Meta (Darnley Island Arts Centre) bekerja untuk merevitalisasi kebudayaan tradisional Erube Le dan membaginya pada khalayak luas di seluruh dunia. Erub, atau dikenal sebagai Darnley Island, adalah salah satu komunitas paling terpencil di Australia, terletak di Timur Laut Cape York wilayah Queensland. Pulau indah ini dipengaruhi konteks gunung berapi, berada di tengah laut indah berwarna tosca, di area karang laut the Great Barrier, dan penghuninya hanya 400 orang saja.
Sanggar ini terutama menghasilkan karya keramik dengan teknik tungku buatan tangan, karya grafis, karya dengan kertas selain perhiasan, tekstil, sulam dan ornamen tari yang mereka ciptakan sendiri. Erub Erwer Meta juga membawa komunitasnya untuk memanfaatkan teknologi dan infrastruktur informasi untuk membuat aktivitas penyiaran, musik, performans dan sebagainya. Kerja ini sudah dimulai 20 tahun lalu ketika mereka masih bernama Ekkilau, dan sejak awal terbuka dengan berbagai bentuk seni.
Dikenal secara internasional karena karya tenun Ghost Net, para seniman di pusat ini mengambil inspirasi dari lautan dan terumbu karang di sekitarnya. Pada karya Ghost Net, keramik, sablon, potongan lino dan gambar di atas kertas disimpan dalam koleksi Internasional dan Nasional.
Fazal Rizvi (lahir 1987) adalah seniman lintas disiplin berbasis di Karachi, Pakistan. Ketertarikannya berulang di antara yang personal, sosial dan politis. Fazal menghabiskan bertahun-tahun merefleksikan ketegangan materialitas dan immaterialitas, atas laut dan batasnya. Ia juga acap kembali pada hal personal yang tampak dekat sebagai titik pijak. Fazal lulus sekolah seni National College of Arts, Lahore, pada 2010. Pada 2020-2021, ia mengikuti program residensi di Jan van Eyck Academie, Maastricht, Belanda. Ia juga berpartisipasi dalam program residensi di Arcus Studios, Japan, pada 2011 dan menerima Charles Wallace Pakistan Trust award untuk melakukan residensi di Gasworks Studios residency, London, pada 2014. Ia juga menjadi penerima Pro Helvetia New Delhi untuk melakukan residensi di Zurich, 2020. Fazal juga menjadi bagian dari The Tentative Collective. Dengan pendekatan lintas disiplin, mulai dari gambar, video, teks, dan bunyi, Fazal telah berpameran di berbagai tempat di Pakistan, juga di India, Sri Lanka, Jerman, UK, Australia, Rusia, Jepang, dan Polandia.
Cetak digital dengan bahan arsip, gambar di atas kertas
Tracing Trails, merujuk pada serangkaian peta yang dibuat pada masa Kolonial Inggris di Asia Selatan. Dalam proses bekerja dengan berbagai peta ini dan melihatnya lebih dekat, menjadi jelas bahwa penandaan dan detail daerah pegunungan yang membentang di wilayah tersebut (dari Kashmir hingga Assam), menjadi lebih rinci dan lebih terpantau dari waktu ke waktu. Bagian wilayah tersebut memiliki medan yang sulit diatur, sehingga banyak tempat, etnis, bahasa, dan budaya di wilayah tersebut yang terisolasi dan/atau memiliki akses terbatas, serta membatasi hubungan dan pergerakan mereka dengan dunia luar. Apa yang terjadi jika medan ini diukur, dicatat, dan dijiplak di atas kertas? Dapatkah menelusuri kembali langkah-langkah ini menjadi cara untuk membuat pandangan, keinginan, dan kekerasan yang melekat di dalamnya terlihat?
Fitri adalah pekerja seni dari Yogyakarta. Selain itu, ia adalah seorang perupa yang menggunakan teknik seni grafis (seperti ukiran kayu dan etsa) untuk mengutarakan kritik dan berdialog mengenai isu-isu sosial dan lingkungan. Fitri berkomitmen untuk mengedepankan isu-isu seputar perempuan melalui seni dan musik, serta secara konsisten menjadi suara perempuan yang lantang di tengah budaya yang sangat patriarkis. Fitri adalah anggota komunitas SURVIVE! Garage, kolektif seni Taring Padi, dan vokalis grup band Dendang Kampungan. Aktivismenya mencakup keterlibatan langsung dalam advokasi dan gerakan politik bersama para petani, komunitas perempuan, buruh, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.
Fitri DK aktif terlibat dalam berbagai pameran baik di Indonesia maupun luar negeri, termasuk di antaranya Jogja Arts Festival, Pameran Nandur Srawung di Yogyakarta, Balai Seni Negara Kuala Lumpur Malaysia, Framer Framed di Amsterdam (Belanda), 16 Albermale Australia, dan lain-lain.
Instalasi kain tenun stagen, batik, keranjang bambu dan gerabah
Dimensi Varibel
Karya Fitri DK untuk Biennale Jogja 17 merupakan refleksi dari kerjanya bersama Wadon Wadas, sebuah bagian penting dari perlawanan rakyat Wadas, Purworejo, terhadap pembangunan tambang batu di wilayah mereka. Para seniman dan aktivis selama beberapa tahun mendukung perjuangan warga untuk menolak pembangunan. Perempuan menjadi garda depan perlawanan ini melalui kerja-kerja pengetahuan dan penciptaan, membawa tindak domestik sebagai aksi politik.
Selama masa resistensi terhadap aparat militer, perempuan desa Wadas menganyam keranjang bambu untuk mengamankan desa, menjaga posko perlawanan ketika orang asing datang. Dalam kerja kolektif menganyam, para perempuan membawa kriya bambu menjadi simbol perlawanan. Selain itu, Wadon Wadas juga menggunakan stagen (bagian dari tata pakaian tradisional perempuan Jawa) untuk menutup pohon-pohon agar tidak ditebang demi pembangunan tambang. Fitri meminjam simbolisme stagen sebagai penekanan terhadap bagaimana para perempuan menggunakan tubuh mereka sebagai upaya mempertahankan kelestarian lingkungan, menjaga sumber kehidupan dan melawan dampak percepatan pembangunan yang tidak berpihak kepada kemanusiaan. Menganyam kemudian memberi aspek puitik dan politik pada perlawanan warga.
Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, Sumatera Barat. Kelompok ini berdiri pada tahun 2011. Kelompok ini juga berkembangan menjadi lembaga budaya nirlaba, berfokus pada pengembangan pengetahuan seni dan media berbasis komunitas di lingkup lokal Sumatera Barat. Komunitas Gubuak Kopi memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan literasi media melalui praktik artistik, mengorganisir kolaborasi antara profesional (seniman, penulis, dan peneliti) dan warga, mengembangkan media lokal dan sistem pengarsipan sederhana, serta membangun ruang alternatif bagi peningkatan kapasitas anak muda di Solok, Rumah Tamera.
Sejak tahun 2017, Komunitas Gubuak Kopi fokus mengembangkan platform Daur Subur, sebuah studi mengenai kebudayaan yang berkembang pada masyarakat pertanian Sumatera Barat. Studi ini menggali narasi tentang sejarah dan nilai-nilai kearifan lokal untuk melihat persoalan yang berkembang hari ini di Solok, dengan tetap sadar akan perkembangan situasi sosial, ekonomi, politik, dan dan perkembangan kekiniannya. Platform ini bekerja melibatkan partisipan dari beragam disiplin ilmu dan komunitas, serta melahirkan sejumlah proyek seni, buku, dan program-program turunan, seperti Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) yang berfokus pada pengembangan nilai-nilai pada medium baru yang dekat dengan warga, dan Kurun Niaga, yang berfokus pada pembacaan narasi kolonial dan sejarah perdagangan di Sumatera Barat melalui penelusuran arsip dan meresponsnya secara artistik untuk melihat persoalan hari ini.
Pada Biennale Jogja Equator 2023 ini, Pusako Tinggi Project menghadirkan sejumlah catatan penelusuran, kajian, dan rancangan pengembangan ide Pusako Tinggi, dalam merespon persoalan hari ini. Catatan tersebut dirangkum dari sejumlah penelusuran dan rangkaian diskusi terpimpin, yang dilakukan oleh Komunitas Gubuak Kopi bersama sejumlah tokoh sejak Juli 2023. Selain itu, presentasi ini juga menghadirkan draft rancangan proyek di masa mendatang, untuk diterapkan oleh Komunitas Gubuak Kopi sendiri maupun jejaring. Catatan dan draft tersebut terdiri atas catatan di atas kertas, pembesaran di atas kain, rekaman audio FGD, dan siaran petuah adat.
Güneş Terkol (1981, Ankara, Turki) lulus dari jurusan lukis di Fakultas Seni Rupa di Mimar Sinan University. Setelahnya ia menerima gelar master dalam bidang Seni dan Desain di Yıldız Technical University. Pada 2018, ia menamatkan formasi pedagogisnya di Mimar Sinan University. Menggunakan kain, teknik menjahit dan menyulam, bunyi dan gambar, Güneş mendiskusikan isu gender dalam karya-karyanya. Güneş percaya pada pentingnya kerja kolektif dan upaya bersama untuk meraih tujuan, dan karenanya ia banyak menggunakan metode kolektif melalui lokakarya di berbagai negara dan kota, berangkat dari imajinasi dan realitas dari para partisipan. Sejak 2005, Güneş selain menciptakan karya individual, juga menjadi bagian dari collective Ha Za Vu Zu, serta bermusik bersama grup GuGuOu.
Spanduk tekstil/Textile banner
300x250 cm
Berkolaborasi dengan anggota dari/In collaboration with members of Desa Prima, Panggungharjo, Bantul: Arum Kurniawati, Dian Jati, Eka Teguh Ariani, Haryanti, Heni Kurniawati, Marji Asih, Ratna Widya, Retno Kustiani, Sarjimah, Sartini, Siti Mulyani, Suciningtyas, Tri Marwati, Tumiyah, Wahyu Riskidha, Wiji Wahyuti, Yuli Supatmi
Fasilitator/Facilitators: Bening Gupita Esti and Dian Aprilianti
Dalam praktiknya, Güneş menggunakan kain, jahitan, suara, dan menggambar untuk menangani isu-isu seputar gender. Percaya akan pentingnya kolektif dan bersatu dalam tujuan yang sama, sang seniman telah menghasilkan karya kolektif dalam lokakarya di berbagai negara dan kota, serta berangkat dari realitas dan imajinasi sehari-hari para peserta sebagai inspirasi.
Spanduk tekstil Harapan Puan diproduksi secara kolaboratif dengan anggota Desa Prima (Perempuan Indonesia Maju Mandiri) dari Panggungharjo, Bantul sepanjang bulan September. Desa Prima merupakan salah satu program yang dilaksanakan di Panggungharjo sejak tahun 2019 sebagai bagian dari program nasional. Hal ini membantu perempuan mengembangkan usaha kecil mereka yang berangkat dari isu bahwa sebagian besar permasalahan gender di ruang domestik terjadi karena tantangan ekonomi. Desa Prima di Panggungharjo melibatkan sekitar 30 perempuan dan fokus pada pemberdayaan keuangan pada situasi kritis atau rentan agar perempuan dapat tampil lebih baik di panggung sosial dan politik.
Ibro Hasanović adalah seniman dan sutradara film dari Bosnia/Perancis. Ia lahir pada 1981 in Ljubovija, Yugoslavia. Ibro belajar produk desain di Academy of Fine Arts di Sarajevo dan subjek contemporary art and cinema di Le Fresnoy–Studio National des Arts Contemporains di Prancis. Karya-karyanya–film, video, fotografi dan instalasi dibentuk melalui relasi antara yang politis dan yang puitis, berbicara tentang isu sejarah, memori kolektif dan arsip personal.
Karya-karyanya telah dipamerkan di MAXXI–Museo nazionale delle arti del XXI secolo (Rome), KADIST Foundation (Paris), Kunstverein in Hamburg, ARGOS Centre for Audiovisual Arts (Brussels), MOMus– Experimental Center for the Arts (Thessaloniki), Moderna galerija MG+MSUM (Ljubljana), Museum of Modern and Contemporary Art Rijeka (Croatia), Carré d’ArtMusée d’art contemporain de Nîmes (France), Museum of Contemporary Art Zagreb (Croatia), Museum of Contemporary Art Skopje (North Macedonia), Guangdong Museum of Art (China), Casino Luxembourg–Forum d’art contemporain, Pera Museum (Istanbul), MUSA Museum Startgalerie Artothek (Vienna), Austrian Cultural Forum (New York), Munchner Stadtmuseum (Munich), Garage Museum of Contemporary Art (Moscow), Le 116 Centre d’Art Contemporain de Montreuil; National Gallery of Kosovo (Pristina), Kunsthalle Wien (Vienna), Künstlerhaus– Halle für Kunst & Medien (Graz), Villa Romana (Florence), 52nd October Salon (Belgrade), City Museum of Ljubljana, Galleria d’Arte Moderna Palazzo Forti, (Verona), Washington Project for the Arts dan lain sebagainya.
Film dan karya videonya diputar di Les Rencontres du Cinéma Documentaire à Montreuil, États généraux du film documentaire de Lussas, CineMigrante International Film Festival (Buenos Aires), DokuFest-International Documentary and Short Film Festival (Prizren), HRAFFHuman Rights Arts and Film Festival (Melbourne), Glasgow Short Film Festival, 11. Pravo Ljudski Film Festival (Sarajevo), 22nd Encounters Short Film & Animation Festival (Bristol), 29th Helsinki International Film Festival, 32nd Hamburg International Short Film Festival, Brussels Short Film Festival, Centre Georges Pompidou (Paris) dan lainnya. Sekarang ia bekerja dan tinggal di Paris.
Diproduksi bekerja sama dengan Galeri SIZ dan Program Residensi Kamov, Rijeka
Didukung oleh The City of Rijeka-Department of Culture, Primorsko-goranska County, Ministry of Culture of the Republic of Croatia
Gambar: Srđan Kovačević
Penyuntingan: Pauline Piris-Nury
Suara: Èlg
Koordinator Produksi: Nemanja Cvijanović
Asisten Produksi: Romano Perić
Info Teknis
Format pengambilan gambar: HD
Format pemutaran: HDCAM / Blu-ray
Durasi: 7 menit 30 detik
Warna: Yes
Rasio pemutaran: 16:9
FPS: 25
Suara: Stereo
Tanggal produksi: 9 December 2012
Spectre adalah meditasi tentang pembusukan dan kematian; tentang cara ingatan menghantui dan memengaruhi masa kini. Film ini diambil di Kapal Pesiar Angkatan Laut Yugoslavia Galeb yang digunakan Josip Broz Tito untuk pesta, kunjungan luar negeri, dan diplomasi. Kapal persiar yang dulunya merupakan simbol glamor sejarah Yugoslavia tersebut, kini ditinggalkan di galangan kapal.
Ilona Németh adalah seniman visual, aktivis, kurator dan profesor. Ia telah berpameran di kancah lokal dan internasional. Ia memimpin studio IN dan sepanjang 2014-2019 juga menjalankan program edukasi internasional Open Studio di Department of Intermedia, University of Bratislava di Bratislava, Slovakia. Sejak 2021, dia menjadi profesor STU Bratislava dalam lingkup Fakultas Arsitektur dan Desain. Pada 2018-2021, dia memulai kerja sebagai Direktur Artistik pada pameran internasional dan proyek riset Eastern Sugar dengan dukungan Creative Europe program. Dari riset itu ia menyelenggarakan pameran tunggal dengan judul yang sama di Kunsthalle Bratislava pada 2018 yang bekerja sama dengan Slovak National Gallery. Pada 2022, ia mempresentasikan karyanya dalam documenta fifteen di Kassel dan juga menyelenggarakan pameran tunggal di Trafo Gallery di Budapest. Karya instalasi permanennya Grandstand diresmikan di ruang publik di Hohenau, Austria pada September 2022. Pada 2023, ia berpartisipasi dalam 35th Ljubljana Biennale of Graphic Arts, Survival Kit 14 di Riga, dan Biennale Jogja di Yogyakarta, Indonesia.
Instalasi situs-spesifik, 2023
Bagian video: in cooperation with Martina Slováková-Cukru Production
Dimensi Variabel
Atas perkenan Seniman
Penelitian pabrik gula di Jawa berkolaborasi dengan Mahesti Hasanah
Videos:
Interview with Christian Laur, 2018
Anggota Dewan/Member of the Board of Eastern Sugar between 1993–2000, Bratislava
Video satu saluran dengan suara, 16 menit 38 detik/Single channel video with sound, 16’ 38”
Interview with Dušan Janíček, 2017
Direktur Hubungan Eksternal di Slovenské cukrovary, s.r.o. Sereď, AGRANA Group
2017, Sereď
Video berwarna satu saluran dengan suara 14 menit 46 detik
Video essays:
Diószeg / Sládkovičovo Sugar Factory (1867-1999), Slovakia, 2021
Video satu saluran, tanpa suara, 5 menit 7 detik
Dunajská Streda Sugar Factory (1969-2006), Slovakia, 2018
Video satu saluran, tanpa suara, 52 detik
Oroszka / Pohronský Ruskov Sugar Factory (1893-1992), Slovakia, 2018
Video satu saluran, tanpa suara, 3 menit 15 detik
Kaba Sugar Factory (1979-2006), Hungary, 2021
Video satu saluran, tanpa suara, 4 menit 10 detik/Single channel video, silent, 4’ 10”
Removal of the EASTERN SUGAR sign from the former entrance of the sugar factory from the year 2002
Unveiling of the original JUHOCUKOR sugar factory sign from the 1970s
July 7, 2020, Dunajská Streda
3 menit 17 detik
Video satu saluran, tanpa suara
Video merupakan milik penuli
Emplacemet of the JUHOCUKOR / EASTERN SUGAR memorial on the municipal building in Dunajska Streda
January 11, 2022, Dunajská Streda
2 menit 17 detik
Video satu saluran, tanpa suara
Video merupakan milik penulis
Proyek riset ekspansif Eastern Sugar (2017-masih bergulir) dimulai dari cerita sebuah penggilingan gula di Cekoslovakia, Juhocukor (1969-2006) terletak di kampung halamannya, Dunajská Streda, dan berlanjut menjadi penelusuran tiga tahun dari 15 pabrik gula di Slovakia, Republik Ciko dan Hungaria. Ditemukan oleh perusahaan Austria pengembang gula bit, di Eropa Tengah dan Eropa Timur industri gula dikembangkan oleh dua monarki Austro-Hungaria dan kemudian didukung oleh Negara di bawah Cekoslovakia yang dijajah Soviet. Kejatuhan Uni Soviet dan perpecahan antara Ceko dan Republik Slovakia, privatisasi, kepemilikan asing dan pengurangan kuota produksi gula Uni Eropa yang membuat permasalahan baru.
Eastern Sugar adalah nama yang dipilih oleh Générale Sucrière dan Tate & Lyle sebagai nama perusahaan gabungan untuk mengakuisisi pabrik gula di seluruh Eropa Tengah setelah kejatuhan komunis tahun 1989. Mereka membeli enam pabrik di Eropa Tengah dan Eropa Timur, termasuk Juhocukor di Slovakia dan Kaba di Hungaria. Pada 2006, Komite Eropa memperkenalkan regulasi untuk mengurangi jumlah produksi gula di Uni Eropa setelah World Trade Organization membuat persetujuan untuk menguntungkan Australia, Brazil dan Thailand, karena ekspor gula melebihi jumlah yang diizinkan. Perusahaan menerima kompensasi setelah menerima peraturan kuota produksi pabrik lewat alokasi dana nasional Uni Eropa.
Instalasi tempatan khusus di Food Court Pabrik Gula Maduksimo fokus pada arsip sejarah naratif dan dokumentasi dari situs pabrik, bersama dengan pilihan wawancara video dan esai foto. Ini termasuk wawancara dengan mantan anggota dewan pembina Eastern Sugar 1993-2000, dan wawancara dengan Direktur Hubungan Eksternal Grup Agrana yang menjalankan pabrik Sered. Foto esai mempresentasikan reruntuhan dari bekas pabrik di Slovakia, yang digunakan dan dimiliki oleh perusahaan Eastern Company dan lainnya.
*Mahesti Hasanah adalah dosen di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM). Tesis S1-nya fokus pada industri gula di Mangkunegara pada masa penjajahan kolonial tahun 1870-1930, menggunakan pendekatan ekonomi politik.
Jasmina Cibic hidup dan berkarya di London. Ia berkarya dengan film, performans dan instalasi. Ia mewakili Slovenia pada the 55th Venice Biennial dengan proyeknya For Our Economy and Culture. Pameran terbarunya mencakup pameran tunggal di: Museum der Moderne Salzburg, The Highline New York, macLyon, Museum Sztuki Łódź, Museum of Contemporary Art Ljubljana, CCA Glasgow, Phi Foundation Montreal, BALTIC Centre for Contemporary Art Gateshead, Ludwig Museum Budapest, Kunstmuseen Krefeld juga pameran kelompok di MAXXI Rome, Steirischer Herbst ‘19, MoMA di New York, Marta Herford, dan Guangdong Museum of Art China.
Film-film karya Jasmina Cibic telah diputar di Barbican London, Whitechapel Gallery, CCA Montreal, Pula Film Festival, HKW Berlin, Louvre, Les Rencontres Internationales Paris, Aesthetica, Berwick Film and Media Arts Festival, BFI London Film Festival, Dokfest Kassel and Copenhagen International Documentary Festival. Ia memenangi MAC International Ulster Bank and Charlottenborg Fonden awards (2016), the B3 Biennial of the Moving Image Award (2020) dan Film London Jarman Award (2021).
Cibic menjelajahi keterkaitan antara kuasa negara, budaya, dan konstruksi gender. Ia memeriksa mekanisme kekuatan lunak–instrumentalisasi budaya melalui kekuatan politik–selama periode krisis ideologi dan sosial yang bersejarah. Melalui penelitian arsip, Cibic mencari karya-karya, arsitektur, dan musik yang menunjukkan ketertarikan politik dan retorika kekuasaan nasional. Ia menerjemahkan penelitiannya menjadi film dan komposisi teatrikal yang imersif yang mencakup foto, performans, dan instalasi.
Beacons, 2023
Instalasi video saluran tunggal, warna/suara, 23 menit
Atas perkenan Seniman
Beacons menyajikan perjalanan sinematografi yang mengikuti delapan perempuan yang menciptakan terjemahan sonik dan koreografis dari pidato-pidato yang disampaikan pada konferensi pertama para pekerja budaya dari negara-negara Gerakan Non-Blok, yang diadakan di Titograd, Yugoslavia, pada tahun 1985. Pesertanya mencakup seniman, kurator, dan diplomasi budaya dari seluruh dunia Selatan, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan bekas Yugoslavia. Difilmkan dengan latar belakang arsitektur terpencil yang menyatu dengan alam, yang pernah menjadi katalisator solidaritas transnasional, film ini bertujuan untuk memasukkan kembali suara perempuan yang hilang ke dalam narasi sejarah pembangunan dunia.
Sejak 2013, Jelica Jovanović menjadi mahasiswa doktoral di University of Technology in Vienna, Institute for Art History, Archaeology and Restoration. Lulus dari Fakultas Arsitektur University of Belgrade. Ia mendirikan Docomomo Serbia, dan aktif sebagai sekretaris, editor situs web, serta koordinator digitalisasi. Selain itu, Jelica juga mendirikan organisasi Grupa arhitekata. Pernah mengikuti pelatihan di Getty Conservation Institute (GCI), Cultural Heritage without Borders (CHwB), Central Institute of Conservation of Serbia, Center for Earth Architecture, Belgrade Open School. Jelica menjadi kolaborator untuk berbagai institusi perlindungan warisan budaya di Serbia. Menjadi peneliti untuk Austria’s Agency for Education and Internationalisation (ÖEAD) & World University Service (WUS), Slovak Academic Information Agency (SAIA). Berpengalaman sebagai koordinator proyek Unfinished Modernisations: Between Utopia and Pragmatism, 2010-2012, (EACEA, Culture 2007-2013), (In)appropriate Monuments. Pernah menjadi asisten kurator di Museum of Modern Art in New York (MoMA) untuk pameran Toward a Concrete Utopia: Architecture in Yugoslavia 1948–1980. Menulis buku bersama penulis lain dalam Arhiva modernizma.
Jogja Disability Arts bergerak pada bidang seni dan budaya, yang berfokus kepada disabilitas pelaku seni dengan mewujudkan partisipasi penuh dan kesamaan kesempatan disabilitas dalam bidang seni budaya di tingkat nasional dan internasional. Juga, mengupayakan keterpaduan langkah, potensi disabilitas dalam rangka peningkatan kualitas, efektifitas, efisiensi, dan relevansi atas kemitraan yang saling menguntungkan dan bermartabat.
Pranata Mangsa, 2023
Mural di dinding
Pranata Mangsa sebagai salah satu cara Jogja Disability Arts menceritakan pengetahuan 12 musim dalam kalender jawa kepada generasi yang lebih muda. Dulu petani dapat mengelola sumber daya dengan baik lewat pengetahuan lokal tentang siklus ini. Namun setelah perubahan masif gaya hidup dan iklim global, menggunakan Pranata Mangsa untuk menjawab tantangan terkait ketahanan pangan dan potensi bencana alam sering dianggap tidak secanggih penggunaan sains modern. Meski begitu, kearifan dari generasi sebelum menjadi suar penuntun yang sangat berharga bagi generasi berikutnya dalam mengarungi lautan perubahan, untuk berani bereksplorasi ranah baru, namun tetap berlandas pada sejarah, budaya dan tradisi yang terekam dalam tubuh dan memorinya
Jompet (lahir 1976) mengawali perjalanan seninya sebagai seorang pemusik amatir. Pada rentang tahun 1997-1999 ia menghasilkan beberapa karya rekaman musik indie baik secara individu maupun kelompok. Sejak tahun 1998 ia tumbuh bersama dengan kolektif Teater Garasi yang memberikan pengaruh besar pada bahasa artistiknya. Setelah menyelesaikan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada di tahun 1999, ia mendalami seni kontemporer secara otodidak, suasana awal reformasi juga memberikan dorongan yang kuat bagi Jompet untuk menyelami kenyataan yang baru melalui bahasa seni. Saat ini Jompet bekerja dengan beragam medium seni seperti instalasi, video, suara, dan pertunjukan untuk membicarakan beragam tema seputar sejarah alternatif Indonesia yang merentang dari hantuhantu kolonialisme hingga nostalgia atas kediktatoran. Jompet telah memamerkan karyanya secara luas, di antaranya: Pameran tunggal di Tropenmuseum Amsterdam, 2014, Sherman Contemporary Art Foundation, Sydney, 2016, dan MAC’s Grand Hornu, Belgia. Serta pameran kelompok di antaranya: Sun Shower, Mori Art Museum, Tokyo, 2017; Sharjah Biennale 2019; Bangkok Art Biennale 2022. Di Tahun 2014 ia memenangkan penghargaan dari Prudential–Eye Award di Singapura dalam kategori seni instalasi.
Anno Domini, 2011
Instalasi
Koleksi dari Honus Tandiono
Karya ini adalah bagian seri karya Jompet yang melihat perubahan besar dalam politik dan kebudayaan Jawa pasca perang Jawa 1830. Dimulai dari sebuah kekalahan perang fisik, Jawa berubah menjadi medan pertarungan individu melawan raksasa ekonomi. Petani berebut lahan dengan mesin-mesin pengolah tanah, anak remaja menjadi kuli pabrik gula. Hutan berubah kota. Jurang dan gunung ditembus rel kereta. Waktu berjalan lebih cepat, merubah petani merdeka menjadi kuli yang lambat dan pemalas. Seri karya Jompet ini mencoba menelusuri jejak-jejak pertarungan tersebut yang ia yakini berlangsung hingga sekarang.
Hantu penabuh tambur itu seperti sebuah lonceng waktu yang membangunkan orang-orang dari tidur untuk memulai hari dengan mengingat roh orang-orang kalah yang tak tenang.
War of Java, do you remember? #2 (Raw Footage), 2008
Video satu saluran
09.30 menit
Video karya ini menampilkan seorang lelaki yang tengah berusaha keras menemukan dan mengendalikan dirinya dalam kepung deru mesin pabrik gula. Ia mencoba untuk terus terikat pada irama suara gong dan kenong yang mengetuk samar-samar di dalam kepalanya supaya tubuhnya menjadi jathilan yang membukakan mulut bagi roh-roh masa lalu yang tak tenang, roh-roh orang-orang kalah.
Pabrik gula adalah monumen paling gigantik dari kekalahan perang Jawa. Ia juga wajah paling rupawan dari mesin penghisap bernama tanam paksa. Jathilan adalah tubuh compang-camping yang tersungkur dan bangun, mencoba terus berlari mengejar waktu, terseok digelayuti ketidaktenangan masa lalu.
Kan Nathiwutthikun lulus dari jurusan interior dan arsitektur di KMITL, di mana selama tiga tahun ini mempelajari dasar-dasar gambar, lukis, cetak, dan patung. Dia selalu ingin belajar seni tetapi tidak diizinkan keluarganya. Pada 1987 sampai 2020, dia bekerja sebagai arsitek dan desainer interior, dan berupaya untuk memasukkan elemen seni dalam karyanya. Setelah lulus Ph.D di bidang tata kota, is memfokuskan diri pada desain ruang publik dan mendapatkan banyak penghargaan untuk perannya sebagai peneliti dan penulis yang berkait dengan pengetahuan lokal komunitas dan arsitektur, termasuk CDAST AWARD 2013 untuk dosen berprestasi bidang Perencanaan Kota; Thailand Thesis award 2012 untuk desain multiguna ruang publik; The Urban Design Award untuk mendorong paradigma baru dalam Ruang Publik, 2008 and 2006. Dia juga salah satu penulis buku The Urban Wisdom of Jane Jacobs.
Setelah 2016, ia mulai memasuki praktik dalam dunia seni. Dimulai dari lukisan dan projek seni, ia mulai membuat karya komisi untuk proyek interior. Ia juga memulai karir sebagai asisten bagi seniman Mit Jai Inn selama delapan tahun. Dengan keterampilan arsitektur dan rancangan pamerannya, Kan membawa karya-karya Mitt ke level yang berbeda, terutama terkait ruang dan interaksi dengan audiens. Perubahan ini terjadi pada seri tahun 2000an, dari instalasi di atas lantai menjadi instalasi dinding, dipamerkan dalam Sunshower: Contemporary Art From Southeast Asia 1980s to Now dan Mori Art Museum, Tokyo, 2017. Kemudian para pengunjung bisa berjalan melewati lukisan-lukisan tersebut, sehingga karya seni berubah menjadi arsitektur, pada pameran Beautiful Futures di H Gallery Bangkok. Pada 2018, di area pabrik kapal raksasa di Cockatoo Island, dengan model tiga dimensi yang saling bertaut dalam beberapa grup, karya seni menjadi ruang dalam ruang, selama perhelatan 21th Biennale of Sydney, 2018.
Earthbound Mode #1, 2023
Dimens 400 x 300 x 900
Karya Dr Kan Nathi dimulai dari percobaan untuk menciptakan karya dari materialitas dan narasi yang ada di lingkungan sekitarnya. Ketertarikannya pada imaji yang abstrak serta gagasan tentang ruang dan tempat, pembacaan terhadap tradisi dan pengetahuan ekologi lokal, kemudian mendorongnya menekuni pengolahan material tekstil dengan menggunakan tie-dye. Ketika menjadi asisten Mit Jai Inn untuk mengimprovisasi instalasi 365 karya dan penulisan konsep Kalender 1000 Waktu di Aichi Triennale, serta suasana desa Arimatsu Shibori yang berusia 250 tahun dan juga kehadiran kelas Ikebana Kayoko Kondo, Kan terdorong untuk mulai melakukan karya seni yang serius. Kemunculan tie-dye dengan medium bumi dari rumah pegunungannya beserta film pendeknya merupakan hasil pengalamannya di Aichi.
Kan Nathi menekankan pentingnya pemahaman terhadap siklus alam, bagaimana makhluk hidup bermetamorfosis dari satu bentuk ke bentuk lain, memasuki fase dan tahapan hidup yang berbeda. Pengetahuan yang dibentuk oleh pengamatan terhadap pola-pola alamiah alam memberikan pijakan untuk rantai sosial dalam koeksistensi masyarakat. Karya Kan Nathi mempertemukan gagasan tentang ruang hidup, keterampilan lokal yang diwariskan, filosofi kemanusiaan dan pertanyaan tentang struktur dan persilangan. Praktik menciptakan pada masa kini adalah bagaimana setiap orang dengan beragam latar belakang mengabstraksikan pengalaman dan imajinasi, bukan tentang menjadi “seniman” dalam konteks individual yang terpisah. Dengan latar belakangnya sebagai arsitek dan desainer, Kan Nathi bekerja dalam wilayah seni sebagai upaya memaknai tetanda alam, meleburkan batas ruang dan kemungkinan.
Reveal: The experiment of natural color, 2023
Video digital satu saluran, warna, suara
Durasi: 2 min. 29 sec.
Reveal: The experiment of natural color menantang dikotomi palsu antara keprimitifan dan kehalusan. Nathi berjongkok di tanah, menggali dan menghancurkan tanah menjadi pewarna. Reveal menarik persamaan antara penghancuran bumi yang berulang-ulang hingga menjadi partikel-partikel pigmen dan pemurnian, atau penyaringan, dari pikiran manusia yang “vulgar, kasar, tidak sopan”. Akan tetapi, pewarna sulingan dan kotoran mentah terbuat dari bahan yang sama: tanah.
The Four Elements in Tie-Dye, 2023
Video digital satu saluran, warna, suara
Durasi: 2 min. 57 sec.
Dalam The Four Elements in Tie-Dye, Nathi menarik perhatian pada kekuatan pemberian makna simbolis pada objek sehari-hari. Proses tie-dye yaitu memasak pigmen, merendam, dan mengeringkan kain dapat dinarasikan sebagai perpaduan epik empat elemen mitis: tanah, air, angin, dan api. Dalam budaya Budha Thailand, kejadian-kejadian biasa dapat membawa beban spiritual. Di dunia yang penuh arti sewenang-wenang dan kuno, bagaimana kita bisa mengetahui apa yang benar?
Transformation, 2023
Video digital satu saluran, warna, suara
Durasi: 3 min. 26 sec.
Transformation membayangkan percakapan antara lalat dan capung yang dimulai dengan kata-kata pertama yang diucapkan melalui telepon baru Alexander Graham Bell. Lalat melanjutkan dengan merinci berita-berita sepele dan mendesak kepada capung, yang dengan jelas menjawab, “Saya sedang tampil.” Saat angin kencang saling bertabrakan dan menyampaikan berita tentang gejolak politik kontemporer Thailand, satu-satunya hal yang bisa diselaraskan oleh keduanya adalah topik pembicaraan sopan yang sudah lama ada: cuaca. Ini adalah “*UCKING WORST”.
Videoge mulanya ide untuk penamaan kanal dan produksi serial video mikro-dokumenter untuk mendokumentasikan keseharian kampung halaman di Labuan Bajo yang diinisiasi pada 2016. Belum sempat itu terjadi, Videoge atau dengan nama resmi Videoge Arts and Society lantas berkembang menjadi kelompok belajar lintas disiplin, kolektif seni, dan multimedia yang beranggotakan seniman, musisi, penulis dan peneliti muda, pekerja wisata, juru masak, juru mudi, ibu rumah tangga, guru sekolah, dan mahasiswa.
Sempat menggelar serangkaian kegiatan berupa inisiatif individu dan kolaborasi dalam Proyek Kolong Rumah (2010-2019), berkala mengerjakan rilisan buletin dan webzine Maigezine.net (2019 - sekarang), Pesiar: Satu Hari Satu Pulau (2019-sekarang), Videoge Bukalayar (2019 - sekarang), Videoge Live Sessions (2019- sekarang), riset dan pra-produksi seni Sapa Tetangga Hari Ini (2020 - sekarang), Semacam Pameran: Gambar Tangan dan Seni Realitas Tambahan (2021), urun meluncurkan ruang kerja bersama bernama Bawakolong pada Februari 2021 dan tercatat sebagai salah satu ruang budaya dan creative hub di Labuan Bajo dalam penelitian Cultural Cities Profile East Asia (British Council, 2021)
Urun daya dalam penelitian dan penulisan buku Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, hingga Teluk Cenderawasih (PraEvent Makassar Biennale 2021 Maritim: Sekapur Sirih, 2020), Paradakea: Ekshibisi Menyala Dalam Gelap (Mitra Budaya Makassar Biennale 2021-sekarang), Residensi Seniman (2021-sekarang), menginisiasi kegiatan reproduksi pengetahuan dalam konsorsium Kampung Katong (RMI-Bogor, Lakoat.Kujawas-Mollo, SimpaSio Institute-Larantuka, dan Kolektif Videoge-Labuan Bajo, serta didukung oleh Voice Global, 2022-2023), mengikuti curah gagas dan Workshop Kuratorial (Makassar Biennale dan Tanahindie, 2022), mengembangkan program usaha dan kreasi masakan DapurPecah (2022-sekarang), partisipan Temu Inisiatif Muda Nusa Nipa (2022-Sekarang), menginisiasi festival tumbuh bersama warga Pesta Kampung (2022-Sekarang), meluncurkan buku Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Warga Pesisir Labuan Bajo (Videoge, 2022), menulis dalam buku Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep (Makassar Biennale dan Tanahindie, 2023), Seniman Residensi Khatulistiwa (Jogja Biennale, 2023), serta sejumlah program internal dalam mendokumentasikan, mengarsipkan, serta alih wahana pengetahuan lokal dalam bentuk-bentuk kreatifkontekstual.
Roko Molas Poco, 2023
Instalasi, tanah, kayu, batu dan video
Dimensi Varibael
Roko Molas Poco adalah ritus memilih (roko: melamar) kayu terbaik (molas: cantik) dari hutan untuk dijadikan tiang tengah rumah gendang. Kayu yang cantik itu berasal dari tanah yang adalah ibu dan simbol kesuburan, juga merujuk pada sosok perempuan yang bertanggung jawab pada urusan rumah tangga, menjamin kehidupan seluruh anggota keluarga.
Ada ungkapan, gendang one lingkon pe’ang. Secara sosiologis-filosofis, Rumah gendang adalah pusat hidup (kampung) dan lahan atau tanah garapan warga (lingko) sebagai sumber pemenuhan kebutuhan. Filosofi ini berkembang menjadi norma sosial sebagai prasyarat mutlak legalitas adat dan kesatuan masyarakat dalam satu kampung. Jika tanah adalah sumber kehidupan, mbaru gendang (rumah) adalah tempat peristirahatan yang bersifat komunal. Ia jadi tempat anggota keluarga sebagai unit kolektif terkecil dari masyarakat adat.
Jika tanah dan rumah serta ingatan kolektif tentangnya adalah juga cara individu membentuk identitas diri, bagaimana imajinasi tentang tanah dan rumah beroperasi saat ini? Dalam konteks Labuan Bajo, bagaimana tanah dan rumah dengan segala konstruksi nilai-nilai tradisional bisa dibayangkan kembali, ketika keduanya harus berhadapan dengan desakan kapitalisme, industri pariwisata, krisis ekologi, dan budaya patriarki yang cenderung eksploitatif dan hegemonik?
Lahan Petani adalah usaha agrowisata hortikultura, memadukan pertanian dan edukasi. Lahan Petani berbasis di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Lahan Petani mengelola lahan seluas dua hektar yang difokuskan pada budidaya semangka, cabai rawit, pepaya california, pisang beranga, dan sayuran. Lahan yang dipakai menggunakan sistem pertanian modern dengan irigasi tetes tepat guna. Hasil pertanian Lahan Petani telah didistribusikan untuk pedagang, pengusaha kuliner, dan konsumen rumah tangga di Kabupaten Sikka.
Lahan Petani memiliki misi membagikan pengetahuan pertanian sebagai peluang usaha masa depan kepada para pemuda. Lahan Petani ingin lebih banyak pemuda di Kabupaten Sikka menguasai teknik pertanian modern dan dengan bangga memilih pertanian sebagai pekerjaan. Dengan fasilitator orang-orang muda dari berbagai disiplin ilmu, kami menawarkan tur dan kelas pertanian yang menyenangkan.
Lahan Petani X Petani Muda Naratakwa X Sadhir
Lahan Petani mengintervensi greenhouse di Bangunjiwo dengan model irigasi tetes sederhana sebagai bahan percobaan. Irigasi tetes adalah sistem yang efektif dan efisien untuk model-model pertanian di lahan kering, yang secara spesifik dikembangkan kolektif ini. Arsip-arsip yang dipamerkan juga menggambarkan aktivitas-aktivitas edukasi dan workshop yang mereka lakukan di sekolah-sekolah untuk memperkenalkan dunia pertanian kepada generasi muda. Herman Yoseph Ferdy, salah satu anggota Lahan Petani yang tergabung dalam Maumere TV, sebuah jurnalisme warga berbasis internet memproduksi karya jurnalistik berjudul Kami Menanam Vanili dan Memanen Pencuri. Dokumenter jurnalistik ini berkontribusi membangun kesadaran petani lokal untuk mengadvokasi diri mereka hingga berbuah peraturan daerah mengenai jual beli vanili.
Laila Tifah lahir di Yogyakarta, 27 November 1971. Pendidikan Terakhir S1 Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1997. Laila Tifah lahir dari keluarga seniman, yang membawanya pada sensibilitas puitik dan artistik sejak usia yang muda. Laila Tifah memproyeksikan amatannya atas fenomena hidup sehari-hari yang tampak sederhana, atau tertimbun oleh citra visual digital yang membanjir. Karya-karya Laila menampilkan isu-isu yang relevan dengan pertanyaan hari ini tentang perubahan lanskap, politik pangan, ketegangan ruang domestik, kegelisahan individu atas esensi kemanusiaan, dan relasi intim antara satu orang dengan yang lain. Ia juga banyak menggunakan strategi rekonstruksi ruang—terutama karena latar belakang pendidikan akademiknya—untuk membangun komposisi dan narasi, yang menautkan gagasan tentang waktu dan spekulasi psikologis manusia.
Akrilik di atas kanvas
80x80 cm
Akrilik di atas kanvas
80x80 cm
Akrilik di atas kanvas
80x80 cm
Cat minyak di atas kanvas
130x180 cm
Akrilik di atas kanvas
160x160 cm
Cetakan
15 panel @30x30 cm
Kreator: Nabila Misilu Shafirila
Lembâna Artgroecosystem adalah inisiatif seni komunitas agrikultur yang dibuat dan dikelola oleh anak-anak muda di Sumenep, Madura. Inisiatif ini dibuat untuk menciptakan infrastruktur pengetahuan melalui seni dan mendorong percakapan lintas budaya dari ragam perspektif.
Tanah merupakan ikatan primordial bagi manusia Madura. Ikatan ini tidak saja berbicara mengenai ruang hidup dan aktivitas sosial yang membentuk cara berpikir orang-orang Madura, melainkan juga artikulasi atas sikap dan pernyataan politik dalam menjaga dan merawat tanah.
Bagi orang-orang Madura, tanah adalah lokus yang menghubungkan orang yang hidup dengan leluhur. Hubungan tersebut menciptakan suatu ekosistem pengetahuan lokal yang bersumber dari pengalaman dan pengamatan panjang atas fenomena alam yang membuat orang-orang Madura memiliki kemampuan membaca tanda-tanda yang kemudian diartikulasikan dalam aktivitas menanam.
Karya ini sekaligus penghormatan kepada petani Lembâna (tempat kolektif Lembâna Artgroecosystem berada) yang terus menjaga dan merawat tanah dan menolak paradigma pembangunan yang eksploitatif yang membuat banyak petani kehilangan lingkungan hidupnya.
Leyla Stevens lahir pada 1982, di Gubbi Gubbi Country, Cooroy, Queensland. Tinggal dan bekerja di Gadigal Country, Sydney. Leyla Stevens adalah seniman dan peneliti Australia berdarah Bali yang bekerja dengan fotografi dan gambar gerak yang dipengaruhi oleh perhatiannya terhadap gestur, ritual, perjumpaan ruang, trans-kultur dan sejarah tandingan. Bekerja dengan moda representasi yang berpindah antara dokumenter dan fiksi spekulatif, karyanya banyak berkaitan dengan sejarah yang terpinggir. Kemudian, ia mengangkat persoalan tersebut melalui arsip tandingan dan genealogi alternatif. Praktik Leyla Stevens merefleksikan kondisi diaspora dan representasi budaya, terutama berkaitan dengan warisan budaya Indonesianya, dan bagaimana citra hambar dan objek-objek ini ditafsir dan digerakkan ke seluruh dunia melalui pameran dan praktik koleksi. Pameran terbarunya adalah Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut di CushCush Gallery Denpasar, serta The National: Museum Contemporary Art, Sydney.
Video satu saluran, 28 menit
Dalam Groh Goh (2023), Leyla Stevens menciptakan ruang-ruang percakapan antara para perempuan Bali untuk membicarakan Rangda, dan bagaimana menafsirnya hari-hari ini. Rangda dalam Budaya Bali muncul terutama dalam pertunjukan lakon Calon Arang, menjadi simbol bagaimana stigma dan pelekatan stereotip terhadap para perempuan terutama yang telah lanjut dan memiliki pengetahuan, dan menunjuk mereka sebagai ‘penyihir jahat’. Sebagaimana para penulis atau aktivis perempuan yang menggugat demonisasi sosok perempuan, Leyla Stevens menawarkan aspek yang intim dan subtil dalam membalikkan citra Rangda. Berangkat dari adegan latihan menari tiga perempuan sebaya, di mana mereka menampilkan diri mereka sebagai Rangda (yang dalam tradisinya selalu dimainkan oleh penari lelaki), sosok Rangda disuarakan oleh para perempuan untuk membongkar perspektif patriarki dan menempatkan Rangda sebagai spirit untuk di mana pengetahuan dan kekuatan perempuan berkontribusi pada dunia. Adegan lainnya dibuat bekerja sama dengan musisi asal Naarm, Karina Utomo, yang menghubungkan Rangda melalui pertunjukan metal kontemporer.